Oleh: Ali Akbar Bin Agil
DALAM
sebuah kisah sufi yang terkenal, tersebutlah sebuah kisah tentang
seorang pemuda ahli ibadah dan seorang pecinta dunia. Suatu hari, si
ahli ibadah memasuki hutan yang penuh dengan singa. Melihat kedatangan
pemuda ahli ibadah tadi, singa-singa di hutan itu merasa senang dan
menyambutnya. Sementara itu, si pecinta dunia yang tatkala itu sedang
berburu, baru saja memasuki hutan yang sama. Melihat kedatangan si
pecinta dunia dan rombongannya, singa-singa itu mengaum siap menerkam
sehingga membuat mereka merasa ketakutan.
Si ahli ibadah melihat
kejadian itu dan dia berusaha menenangkan singa-singa tersebut. Maka
berkatalah si ahli ibadah kepada si pecinta dunia dan orang-orangnya
setelah menenangkan singa-singa ini, “Kalian hanya memperbagus dan
memperindah penampilan luar saja, maka kalian takut kepada singa. Adapun
kami, kami selalu memperbaiki dan memperbagus batin kami, sehingga
singa pun takut kepada kami.”
Kisah di atas memuat pelajaran
penting tentang hati sebagai pusat kebaikan. Hati adalah ibarat Raja
yang punya hak veto dalam memerintah seluruh anggota jasmani menuju
perbuatan baik atau jahat. Untuk merawat dan memperindah hati agar
bercahaya, maka seseorang perlu terus-menerus mempertahankan dan
mengamalkan kebaikan. Hati akan terus bersih, bening dan bercahaya jika
kejahatan terus dihindari, jauh dari debu-debu dengki, riya`, takabbur,
dan cobaan dijalani dengan ikhlas.
Memelihara hati bukanlah
tugas yang sulit. Ini merupakan tugas yang wajib dilakukan setiap
Muslim. Andaikata pun sulit atau mudah, itu harus dilakukan agar hati
yang bersih berpendar dengan sinar kebaikan. Hati adalah wajahnya jiwa.
Orang yang jiwanya baik, hatinya akan baik. Cara memperbaiki jiwa dengan
memperbaiki hati.
Hati, dalam pandangan Imam Abdullah Al-Haddad
adalah tempat penglihatan Allah. Sebelum yang lain, Allah melihat hati
seseorang terlebih dahulu. Di sisi berbeda, anggota lahir badan kita
menjadi tempat perhatian sesama makhluk yang acap dipandang dengan
pandangan kekaguman.
Dalam sebuah doanya, Rasulullah SAW mengatakan :
"Allahummaj`al Sariiratiy Khairan Min `Alaaniyatiy Waj`al `Alaaniyatiy Shaalihah." (Ya
Allah, jadikanlah keadaan batinku lebih baik dari keadaan lahirku dan
jadikanlah keadaan lahirku baik). Inilah salah satu doa yang sering
dipanjatkan oleh Nabi kepada Allah. Di dalamnya terkandung permintaan
agar menjadikan suasana hati lebih bagus ketimbang keadaan lahir.
Pertanyaanya, mengapa nabi menitikberatkan pada batin atau hati? Imam
Abdullah menjawab: “Ketika hati baik, maka keadaan lahir akan mengikuti
kebaikan itu pula. Ini merupakan sebuah kepastian.” Keyakinan ini
didasarkan pada peringatan sabda Nabi Muhammad SAW sendiri: “Di dalam
jasad ada sekerat daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan
jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal
daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari-Muslim)
Hati Sebagai Pusat Segalanya
Setiap
orang pasti menyukai keindahan. Banyak orang yang memandang keindahan
sebagai sumber pujian. Ribuan kilometer pun akan ditempuh demi mencari
suasana dan pemandangan yang indah. Uang berjuta-juta akan dirogoh untuk
memperindah pakaian. Waktu akan disediakan demi membentuk tubuh yang
indah.
Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW yang meski pakaiannya
tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa dan pangkat, tapi tidak
berkurang kemuliaannya sepanjang waktu. Rasulullah SAW tidak menempuh
ribuan kilo, merogoh harta demi singgasana dari emas yang gemerlap,
ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, penghargaan
terhadap beliau tidak luntur dan menyusut ditelan masa. Beliau adalah
orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya. Kunci
keindahan yang sesungguhnya adalah ketika kita mampu merawat serta
memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan
sebenarnya.
Hati adalah penggerak, raja, poros, dan pusat segala
ibadah. Hati yang thuma`ninah (tenang) akan dapat membuat orang ringan
bangun malam, membaca Al-Qur`an, datang ke masjid, dan semua amal shalih
lainnya. Hati bisa mengajak kepada kebaikan sekaligus di saat yang sama
bisa mengajak kepada kejahatan.
Kita melihat tidak sedikit
orang yang mempunyai anggapan bahwa melakukan maksiat tidaklah mengapa
asal hati kita baik. Anggapan dan keyakinan seperti ini jelas merupakan
kesalahan besar. Menurut Imam Abdullah, orang yang berpendirian semacam
ini adalah pendusta besar. Lahir dan batin haruslah berimbang dan
sama-sama baik. Seumpama makanan, ia akan diminati orang jika isi dan
bungkusnya baik.
Kebaikan yang dibuat-buat juga harus dihindari.
Ada orang yang berjalan membungkuk, mengenakan tasbih, pakaiannya
pakaian orang saleh. Di balik semua ini, kita melihat dalam batinnya
orang seperti ini tertanam cinta dunia mengakar kuat, keangkuhan,
kebanggaan pada diri sendiri, serta kegilaan pada pujian. Menurut Imam
Abdullah, orang semacam ini adalah orang yang berpaling dari Allah.
Dalam sebuah peristiwa, Sayidina Umar ra. melihat seorang yang berjalan
di hadapannya dengan membungkuk sebagai bentuk ke-tawadhu-an. Melihat
ini, Sayidina Umar berkata, “Takwa itu bukan dengan cara membungkukkan
badanmu. Takwa itu ada di dalam hati.”
Bagaimana jika seseorang
tidak mampu memperbaiki batin lebih dari keadaan lahirnya? Menurut Imam
Abdullah Al-Haddad, hendaknya ia menyamakan kebaikan lahir dan batin
meski idealnya meningkatkan kebaikan batin lebih diutamakan dan disukai.
Orang yang memiliki hati yang bersih, tak pernah absen bersyukur kepada
Allah, Penguasa jagat alam raya ini. Pribadinya menyimpan mutu dan
pesona. Tak mudah jatuh dalam kesombongan dan kepongahan di kala merebut
sesuatu namun tetap istiqamah tunduk pada Allah.
Orang yang mempunyai hati yang baik akan terus bersikap rendah hati walaupun berpangkat tinggi dan harta melimpah.
Mari bersihkanlah hati ini, beningkanlah dari segala kotoran, isilah
dengan sifat-sifat yang baik agar ia tetap terang benderang, bersinar
dan bercahaya serta selalu cenderung kepada kebaikan dan takwa.*
Penulis staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid, Malang- Jawa timur
Sumber : http://hidayatullah.com
No comments:
Post a Comment